BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Setelah Rasulullah wafat, muncul berbagai aliran
dalam islam. Mulai dari aliran yang pertama muncul yaitu Khawarij sampai pada
zaman sekarang, yaitu aliran-aliran islam liberal. Ada bermacam-macam faktor
yang mempengaruhi munculnya aliran-aliran tersebut. Salah satunya adalah faktor
politik, yang merupakan pertentangan antara Muawiyah bin Abi Sufyan dan Ali bin
Abi Thaib yang diakhiri dengan tahkim. Sehingga pengikut Ali terpecah menjadi
dua kelompok, yaitu Khawaij dan Syi’ah. Kemudian munculah berbagai golongan
yang lain sebagai reaksi terhadap golongan-golongan sebelumnya.
Lalu munculah istilah Ahlussunah wa
Jama’ah. Ahlussunnah sering juga disebut sunni, sementara sunni dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu
umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok Syi’ah.
Yaitu Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Sedangkan sunni dalam arti khusus adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah yang
merupakan lawan dari Mu’tazilah. Dalam makalah ini, penulis akan membahas
masalah sunni berdasarkan pengertian yang kedua. Yaitu mengenai aliran
Asy’ariyah dan Maturidiyah yang merupakan lawan dari Mu’tazilah.
B. Rumusan
Masalah
Berdasar dari latar belakang di atas,
penulis merumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut :
1. Sejarah
dan pokok-pokok ajaran Asy’ariyah
2. Sejarah
dan pokok-pokok ajaran Maturidiyah
3. Persamaan
dan perbedaan ajaran Asy’ariyah dan Maturidiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
dan pokok-pokok ajaran Asy’ariyah
Asy’ariyah diambil dari nama
pendirinya yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari. Nama lengkapnya ialah Abu Hasan Ali bin
Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin
Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari. Beliau lahir pada tahun 260
H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M.
Setelah ayahnya
meninggal, ibunya menikah lagi dengan Al-juba’i yang merupakan seorang pembesar
aliran Mu’tazilah. Sehingga, Al-Asy’ari menjadi pengikut Mu’tazilah dan
menguasai ajarannya dengan sempurna. Bahkan terkadang Al-Juba’i menyuruh Al-Asy’ari
untuk menggantikannya dalam pemberian fatwa maupun dalam perdebatan aliran.
Al-Asy’ari
menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba ia
mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan
faham Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut
Al-Subki dan Ibnu Asakir, alasan Al-Asy’ari meninggalkan
Mu’tazilah adalah bahwa pada suatu malam Al-Asy’ari bermimpi bertemu Rasulullah.
Dalam mimpinya, Al-Asy’ari diperintah untuk meninggalkan aliran Mu’tazilah dan
ia diperintahkan untuk membela sunnah Rasulullah.
Selain
itu terdapat pula faktor lain, yaitu suatu ketika Al-Asy’ari pernah berdebat
dengan gurunya yang juga merupakan ayah tirinya, Al-Juba’i. Dalam perdebatan
itu, Al-Juba’i tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Al-Asy’ari. Di
antara pertanyaan yang diajukan oleh Al-Asy’ari, menurut Al-Subki, adalah sebagai
berikut:
Al-Asy’ari:
Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir, dan anak kecil di
akhirat?
Al-Juba’i:
Orang mukmin mendapatkan tempat yang baik di surga, orang kafir masuk neraka,
dan anak kecil terbebas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari:
Kalau anak kecil tersebut ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga,
mungkinkah itu?
Al-Juba’i:
Tidak, sebab yang mungkin mendapat tempat yang baik di surga adalah orang yang
patuh kepada-Nya, sedangkan anak kecil belum mempunyai kepatuhan seperti itu.
Al-Asy’ari:
Kalau anak itu mengatakan kepada Allah: Itu bukan kesalahanku. Andaikan Engkau
membolehkan aku untuk terus hidup, maka aku akan mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik sebagaimana yang dilakukan oleh orang mukmin.
Al-Juba’i:
Allah akan menjawab: Aku tahu bahwa andaikan kamu terus hidup maka kamu akan
berbuat dosa, sehingga kamu akan mendapat siksa. Oleh karena itu, untuk
kepentinganmu, Aku cabut nyawamu sebelum kamu mencapai baligh.
Al-Asy’ari:
Seandainya orang kafir berkata kepada Allah: Engkau mengetahui masa depanku
sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil tersebut. Namun, mengapa
Engkau tidak menjaga kepentinganku?
Setelah itu, Al-Asy’ari semakin
yakin untuk meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan ia merumuskan sendiri
pemikiran-pemikirannya yang sering disebut sebagai paham Asy’ariyah.
Ajaran-ajarannya dapat dipelajari melalui kitab-kitab yang ia tulis. Beberapa kitabnya
adalah kitab Al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’ (Kecemerlangan
dalam menolak orang yang menyimpang dan melakukan bid’ah), Al-Ibanah ‘an Ushul
al-Dinayah (Uraian tentang prinsip-prinsip agama), dan Maqalat al-Islamiyyin (Makalah tentang
orang Islam), serta kitab-kitab yang ditulis oleh para pengikutnya.
Tokoh-tokoh
aliran Asy’ariyah yang terkenal antara lain, Al Baqilani (wafat 403 H), Ibnu
Faruak (wafat 406 H), Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H), Abdul Kahir al
Bagdadi (wafat 429 H), Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H), Abdul
Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H),
Al-Ghazali (wafat 505 H).
Al-Asy’ari
mengembangkan metode pemikirannya berdasarkan pada nash dan akal. Beberapa
ajaran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
a.
Tentang sifat Allah SWT
Menurut
Asy’ariyah, Allah mempunyai sifat seperti al-‘Ilm (mengetahui), al-Qudra
(kuasa), al-Hayah (Hidup), al-Sama’ (mendengar), al-Bashar (melihat), dan
lain-lain. Sifat-sifat tersebut berada di luar dzat Allah dan bukan dzat Allah
itu sendiri karena Allah mengetahui bukan dengan dzat-Nya, melainkan mengetahui
dengan pengetahuan-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain. Tetapi
sifat-sifat yang dimiliki Allah itu unik, berbeda dengan sifat yang dimiliki
oleh manusia.
b.
Tentang kedudukan al-Quran
Al-Quran
adalah kalam Allah (Firman Allah SWT) dan bukan makhluk dalam arti diciptakan.
Karena al-Quran adalah firman Allah maka pastilah al-Quran bersifat qadim.
c.
Tentang perbuatan manusia
Seluruh
perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT. Walaupun demikian, Al-Asy’ari
tetap mengakui tentang adanya daya dalam diri manusia, meskipun daya itu tidak
efektif. Karena hanya Allah yang dapat menciptakan sesuatu.
d.
Tentang keadilan Allah SWT
Menurut
Asy’ariyah, Allah adalah pencipta alam semesta dan mempunyai kehendak mutlak
terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu, Dia dapat berbuat sekehendak-Nya,
memasukkan seluruh manusia ke dalam surga atau neraka. Karena Allah tidak
mempunyai keharusan apa pun terhadap makhluk-Nya.
e.
Tentang antropomorfisme
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah SWT
mempunyai mata, muka, tangan, dan yang lainnya. Namun tidak dapat diketahui
seperti apa bentuknya. Pendapat ini didasarkan pada:
“Dan
tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. (Q.S
al-Rahman: 27)
“Yang
berlayar dengan mata kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari
(Nuh)”. (QS al-Qamar: 14)
f.
Tentang melihat Allah SWT di akhirat
Karena Al-Asy’ari mengakui akan adanya
antropomorfisme Tuhan, maka dia pun berpendapat bahwa Allah akan dapat dilihat
di akhirat dengan mata kepala karena Allah mempunyai wujud. Hal ini didasarkan
pada:
“Wajah
orang-orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.” (Al-Qiyamah 22-23)
g.
Tentang dosa besar
Imam
merupakan lawan dari kufur, maka jika seseorang tidak beriman, ia dianggap
kafir. Sedangkan apabila ia tidak kafir, maka ia tetap mukmin. Orang mukmin
yang melakukan dosa besar dianggap mukmin fasik atau ‘ashi (durhaka) selama ia
masih beriman kepada Allah. Karena Asy’ariyah berpendapat bahwa iman tidak akan
hilang selain karena syirik. Sedangkan dosa besarnya diserahkan kepada Allah
SWT, apakah akan diampuni atau tidak.
h.
Akal dan wahyu
Asy’ariyah
mengakui akan pentingnya akal dalam diri manusia. Tetapi selain akal,
Asy’ariyah juga menekankan wahyu sebagai sumber hukum pokok. Sehingga dalam
menyelesaikan suatu masalah, Asy’ariyah lebih mengutamakan wahyu daripada akal.
B.
Sejarah
dan pokok-pokok ajaran Maturidiyah
Pendiri aliran ini adalah Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi
lahir di Maturid daerah Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan
Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Ia merupakan pengikut Abu Hanifah. Dalam paham-paham
teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham Abu Hanifah. Karena di
Samarkand hadits tidak berkembang, maka Al-Maturidi lebih menonjolkan akal
dalam pemikiran teologinya. Sistem pemikiran teologi Abu Mansur termasuk dalam
golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan Maturidiah.
Latar belakang lahirnya teologi ini sama dengan Asy’ariyah,
yaitu untuk menentang pendapat Mu’tazilah yang terlalu rasional. Namun tidak
semua pahamnya menentang Mu’tazilah. Bahkan ada beberapa yang hampir mendekati
pemikiran Mu’tazilah. Al-Maturidi hidup pada zaman dimana sedang
gencar-gencarnya terjadi pertentangan antara Mu’tazilah sebagai kaum rasionalis
dan Asy’ariyah yang lebih mengutamakan wahyu daripada akal. Di tengah-tengah
perdebatan ini, munculah Al-Maturidi yang merumuskan pahamnya sendiri sebagai
titik tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Maka, aliran ini juga sering
disebut berada di antara teologi Asy’ariyah dan Mu’tazilah.
Tokoh-tokoh terkenal dari aliran ini adalah Imam Abul Qasim
Ishaq bin Muhammad bin Ismail Al Hakim Al Samarqandi (wafat 342 H), Abul Qasim
Al Hakim (wafat 390 H), Abu Muhammad Abdul Kareem bin Musa bin Isa Al Bazdawi
(wafat 390 H), dan tokoh yang paling terkenal serta sangat berpengaruh bagi
aliran ini adalah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin Husain Abdul Kareem Al
Bazdawi (421 H – 493 H).
Dalam perkembangannya, Al-Bazdawi tidak sepenuhnya mengikuti
paham-paham Al-Maturidi. Sehingga banyak yang berpendapat bahwa Maturidiyah
pecah menjadi dua golongan, yaitu
golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al Maturidi dan golongan Bukhara
yang mengikuti faham-faham Al Bazdawi.
Pokok-pokok ajaran Maturidiyah Samarkand adalah sebagai
berikut:
a. Mengenai
sifat-sifat Allah SWT
Maturidiyah mengakui akan adanya sifat bagi Allah.
Menurunya, Allah Mengetahui bukan dengan zat-Nya tapi dengan pengetahuan-Nya,
dan berkusa pun bukan dengan zat-Nya. Tetapi, ia menolak faham antropomorfisme.
Menurutnya Allah Maha Suci dari antropomorfisme. Pendapat ini hampir serupa
dengan Mu’tazilah.
b. Melihat
Allah Swt.
Menurut maturidiyah,orang-orang yang beriman akan dapat
melihat Allah SWT pada hari kiamat.Tetapi tidak diketahui seperti apa bentuk
dan sifat Allah Seperti faham Asy’ariyah, pendapat ini didasarkan pada Q.S.
Al-Qiyamah ayat 22-23.
c. Pelaku
dosa besar
Menurut Maturidiyah pelaku dosa besar tidak akan kekal di
neraka.Ia di neraka hanya sementara sesuai dengan besarnya
dosa yang ia perbuat.
Karena dosa besar selain syirik tidak akan membuat seseorang menjadi kafir.
d. Kalam Tuhan
Maturidiah
membagi kalam Tuhan menjadi dua, yaitu kalam Nafsi dan kalam yang tersusun atas
suara dan huruf. Kalam nafsi adalah firman Allah yang bersifat qodim. Sedangkan
kalam yang tersusun atas huruf dan suara merupakan hadist atau baru.
e. Perbuatan Manusia
Mengenai
perbuatan manusia dalam hal ini manusia bisa diibaratkan seperti wayang yang di
kendalikan oleh sorang wayang karena menurut pandangan Maturidiah manusia tidak
mempunyai daya dan upaya untuk melakaukan perbuatan jadi semua hal yang di
perbuat oleh manusia dalam ha ini tidak lain hanyalah takdir tuhan.
C. Persamaan dan
Perbedaan Ajaran Maturidiah dan Asyariah
C.1 Persamaan Maturidiah dan Asyariah
a. kedua aliran ini muncul karena reaksi
dari aliran mu’tazilah
b. mengenai sifat ketuhanan kedua aliran
ini beranggapan bahwa allah bisa di ketahui melalui sifat sifatnya bukan
melalui dztnya
c. keduanya menentang aliran Mutazilah yang beranggapan bahwa Al
quran adalah kalam Allah yang qodim.
d. keduanya mempunyai kyakinan bahwa
kelak dihari kiamat manusia dapat melihat tuhan melalui sifat sifatnya.
e. keduanya beranggapan bahwa meraka
adalah Ahlu sunnah wal jamaah
c.2
Perbedaan antara Muturidiah dan Asyariah
a.
beranggapan mengenai perbuatan manusia asyariah menganut ajaran Jabariah
sedangkan Maturidiah menganut ajaran Qodariah
b.
menurat pandangan Asyariyah akal manusia tidak bisa mengetahui tentang
kewajiban manusia sedangkan Maturidiah akal dapat mengetahui hal yang harus
dikerjakan.
c.
Asyariah berkeyakinan bahwa Allah bisa saja memberi pahala kepada orang yang
durhaka dan menyiksa orang yang taat kepadaNYA berbeda dengan Maturidiah yang
beranggapan sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Setelah wafatnya Rasululah,umat
islam menjadi beberapa golongan.Salah satu golongan nya adalah Ahlu Sunnah
Jama’ah.Golongan ini terdiri dari dua madhzab besar yaitu Asy’ariyah dan
Maturidiyah.Pada dasarnya,Asy’ariyah dan Maturidiyah mempunyai persamaan dalam
hal keyakinan dan tujuan,yaitu untuk menentang kaum Mu’tazilah.Tetapi ada
beberapa pokok ajaran mereka yang berbeda.Asy’ariyah sangat mengutamakan wahyu
daripada akal.Sedang kan Maturidiyah memberikn ruang lebih besar kepada akal
daripada Asy’ariyah.
B.Saran
Setelah mempelajari aliran
Asy’riyah dan Matuidiyah,penulis menyarankan agar kita jangan saling
menyalahkan dan mengkafirkan suatu golongan.Apalagi jika tuduhan kita hanya
sekedar taklid tanpa tahu dasar hukumnya.Namun,kita juga jangan sembarangan
mengikuti suatu aliran.Ada baiknya,kita mempelajari terlebih dahulu.
No comments:
Post a Comment